Jatinegara
pramuka
Minggu, 22 Desember 2019
Statistik menggunakan PLS-SEM (2)
Partial Least Square (PLS), Pengertian, Fungsi, Tujuan, Cara
Pengertian Partial
Least Square (PLS), Fungsi, Tujuan, Cara dan Algoritma
Partial
least square atau yang biasa disingkat PLS adalah jenis analisis statistik yang
kegunaannya mirip dengan SEM di dalam analisis covariance. Oleh karena mirip
SEM maka kerangka dasar dalam PLS yang digunakan adalah berbasis regresi linear.
Jadi apa yang ada dalam regresi linear, juga ada dalam PLS. Hanya saja diberi
simbol, lambang atau istilah yang berbeda. Seperti apa? tetap dalam
artikel-artikel kami, maka pertanyaan tersebut akan terjawab dengan sendirinya
nanti.
Dalam
bahasan tentang PLS, tentunya tidak akan cukup hanya dalam satu artikel. Maka
kami akan buat dalam serangkaian artikel, yang cara penyampaiannya kami
upayakan sederhana dan mudah dipahami serta berbasis studi kasus atau contoh
langsung pengoperasiannya dalam software misal smartPLS.
Jadi
mungkin seperti artikel lainnya dalam statistikian.com, kami coba memberikan
penjelasan yang sederhana, dasar, mudah dipahami dan praktis agar kiranya para
pembaca langsung dapat mempraktekannya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya
(kayak teks proklamasi ya). Dalam beberapa bagian dari serangkaian artikel
tersebut, akan kami ambil dari berbagai tulisan para ahli dalam buku maupun
blogger yang beredar di berbagai blog. (Sebelumnya terima kasih pada para ahli
dan blogger-blogger ya.)
Pengertian Partial least square
Partial
least square adalah suatu teknik statistik multivariat yang bisa untuk
menangani banyak variabel respon
serta variabel eksplanatori sekaligus. Analisis ini merupakan alternatif yang
baik untuk metode analisis regresi berganda dan regresi komponen utama, karena
metode ini bersifat lebih robust atau kebal. Robust artinya parameter model
tidak banyak berubah ketika sampel baru diambil dari total populasi (Geladi dan
Kowalski, 1986).
Partial
Least Square suatu teknik prediktif yang bisa menangani banyak variabel
independen, bahkan sekalipun terjadi multikolinieritas diantara
variabel-variabel tersebut (Ramzan dan Khan, 2010).
Menurut
Wold, PLS adalah metode analisis yang powerfull sebab
tidak didasarkan pada banyak asumsi atau syarat, seperti uji normalitas dan
multikolinearitas. Metode tersebut mempunyai keunggulan tersendiri antara lain:
data tidaklah harus berdistribusi normal multivariate. Bahkan indikator
dengan skala data kategori, ordinal, interval sampai rasio dapat digunakan.
Keunggulan lainnya adalah ukuran sampel yang tidak harus besar.
Penemu PLS
PLS
pertama kali dikembangkan oleh Herman O. A. Wold dalam bidang ekonometrik pada
tahun 1960-an. Kelebihan dari Partial Least Square yang penting adalah dapat
menangani banyak variabel independen, bahkan meskipun terjadi multikolinieritas
diantara variabel-variabel independen.
Analisis regresi berganda sebenarnya masih dapat digunakan ketika terdapat
variabel prediktor yang banyak. Namun, jika jumlah variabel tersebut terlalu
besar (misal lebih banyak variabel dari pada jumlah observasi), maka akan
diperoleh model yang fit dengan data sampel, tapi akan gagal memprediksi untuk
data baru. Fenomena ini disebut overfitting.
Dalam
kasus overfitting seperti itu, meskipun terdapat banyak faktor manifes, mungkin
saja hanya terdapat sedikit faktor laten yang paling bisa menjelaskan variasi
dalam respon. Maka muncullah ide PLS. Ide umum dari PLS adalah untuk
mengekstrak faktor-faktor laten tersebut, yang menjelaskan sebanyak mungkin
variasi faktor manifes saat memodelkan variabel respon.
Algoritma PLS
Untuk sub
bagian tentang algoritma ini, terus terang jangan diambil hati ya. Bagi yang
kesulitan, silahkan dibaca saja dulu. Perkara paham atau tidak, tidak jadi
masalah. Yang penting pada artikel berikutnya anda bisa melakukan analisis yang
namanya Partial Least Square.
Misalnya X
adalah matriks yang berukuran n x p dan Y adalah matriks berukuran n x q. Maka
prosedur PLS akan mengekstraksi faktor dari X dan Y tersebut berturut-turut
sedemikian hingga diantara faktor-faktor yang terekstrak memiliki kovarian yang
maksimal. Metode PLS juga bisa bekerja dengan variabel respon berganda.
Dengan
tekhnik Partial Least Square ini akan dicoba untuk mencari suatu dekomposisi
linier dari X dan Y . Sehingga rumusnya adalah:
Decomposisi Linear X dan Y (Gambar dikutip dari https://statistikakomputasi.wordpress.com/2010/08/11/partial-least-square-regression/)
Kolom dari
T merupakan vektor laten, dan U = TB, yaitu regresi dari vektor laten t
sehingga:
Y = TBQT + F
Vektor
laten dapat dipilih dalam berbagai cara. Dalam persamaan di atas, maka setiap
set vektor ortogonal pembentuk ruang kolom dari X bisa digunakan. Untuk
menentukan T, maka diperlukan kondisi tambahan.
Untuk
regresi PLS, yaitu mencari dua set bobot yang dinotasikan dengan w dan c dalam
rangka menciptakan suatu kombinasi linier pada kolom-kolom X dan Y sehingga
kombinasi linier ini memiliki kovarian yang maksimum. Secara khusus, tujuannya
adalah memperoleh pasangan vektor.
t = Xw dan
u = Yc
Dengan
konstrain wTw = 1, tTt = 1 dan tTu adalah maksimal. Ketika vektor laten pertama telah
dihitung, maka vektor tersebut disubstraksi dari X maupun Y dan prosedur
diulang sampai dengan X menjadi matriks nol.
NIPALS
Algoritma
standar untuk menghitung komponen (faktor) PLS adalah nonlinear iterative
partial least square atau disingkat NIPALS yang pertama kali dikembangkan oleh
Herman Wold (1966a). Algoritma NIPALS merupakan inti paling penting dalam PLS
dan mempelajarinya merupakan kunci untuk memahami metode PLS.
Ide dasar
dalam algoritma ini adalah mengestimasi parameter t dan u dengan suatu proses
iteratif dari regresi least square. Berikut ini adalah langkah-langkah dalam
algoritma NIPALS:
Non Linear Iterative Partial Least Square
(NIPALS). (Gambar dikutip
dari https://statistikakomputasi.wordpress.com/2010/08/11/partial-least-square-regression/)
Tujuan Partial Least
Square
Walaupun
Partial Least Square digunakan untuk menkonfirmasi teori, tetapi dapat juga
digunakan untuk menjelaskan ada atau tidaknya hubungan antara variabel laten.
Partial Least Square dapat menganalisis sekaligus konstruk yang dibentuk dengan
indikator refleksif dan indikator formatif dan hal ini tidak mungkin dijalankan
dalam Structural Equation Model (SEM) karena akan terjadi unidentified model.
PLS
mempunyai dua model indikator dalam penggambarannya, yaitu: Model
Indikator Refleksif dan Model Indikator Formatif.
Model Indikator Refleksif
Model
Indikator Refleksif sering disebut juga principal factor model dimana
covariance pengukuran indikator dipengaruhi oleh konstruk laten atau
mencerminkan variasi dari konstruk laten.
Di bawah ini adalah contoh model hubungan
reflektif:
Model Reflektif PLS
Gambar
diatas menunjukkan bahwa: Variabel laten Y diukur dengan blok X yang
terdiri dari 3 indikator. X1, X2 dan X3 secara reflektif.
Model
reflektif mencerminkan bahwa setiap indikator merupakan pengukuran kesalahan
yang dikenakan terhadap variabel laten. Arah sebab akibat ialah dari variabel
laten ke indikator dengan demikian indikator-indikator merupakan refleksi
variasi dari variabel laten (Henseler, Ringle & Sinkovicks, 2009). Dengan
demikian perubahan pada variabel laten diharapkan akan menyebabkan perubahan
pada semua indikatornya.
Pada Model
Refleksif konstruk unidimensional digambarkan dengan bentuk elips dengan
beberapa anak panah dari konstruk ke indikator, model ini menghipotesiskan
bahwa perubahan pada konstruk laten akan mempengaruhi perubahan pada indikator.
Model
Indikator Refleksif harus memiliki internal konsistensi oleh karena semua
ukuran indikator diasumsikan semuanya valid indikator yang mengukur suatu
konstruk, sehingga dua ukuran indikator yang sama reliabilitasnya dapat saling
dipertukarkan.
Walaupun reliabilitas (cronbach
alpha) suatu konstruk akan rendah jika hanya ada sedikit indikator, tetapi
validitas konstruk tidak akan berubah jika satu indikator dihilangkan.
Model Indikator Formatif
Model
Formatif tidak mengasumsikan bahwa indikator dipengaruhi oleh konstruk tetapi
mengasumsikan semua indikator mempengaruhi single konstruk. Arah hubungan
kausalitas mengalir dari indikator ke konstruk laten dan indikator sebagai grup
secara bersama-sama menentukan konsep atau makna empiris dari konstruk laten.
Di bawah ini adalah contoh model hubungan
formatif:
Model Formatif PLS
Gambar
diatas menunjukkan bahwa: Variabel laten Y diukur dengan blok X yang
terdiri dari 3 indikator. X1, X2 dan X3 secara formatif.
Model
hubungan formatif ialah hubungan sebab akibat berasal dari indikator menuju ke
variabel laten. Hal ini dapat terjadi jika suatu variabel laten didefinisikan
sebagai kombinasi dari indikator-indikatornya. Dengan demikian perubahan yang
terjadi pada indikator-indikator akan tercermin pada perubahan variabel
latennya.
Oleh
karena diasumsikan bahwa indikator mempengaruhi konstruk laten maka ada
kemungkinan antar indikator saling berkorelasi. Tetapi model formatif tidak
mengasumsikan perlunya korelasi antar indikator atau secara konsisten bahwa
model formatif berasumsi tidak adanya hubungan korelasi antar indikator.
Karenanya ukuran internal konsistensi reliabilitas (cronbach alpha) tidak
diperlukan untuk menguji reliabilitas konstruk formatif.
Kausalitas
hubungan antar indikator tidak menjadi rendah nilai validitasnya hanya karena
memiliki internal konsistensi yang rendah (cronbach alpha), untuk menilai
validitas konstruk perlu dilihat variabel lain yang mempengaruhi konstruk
laten.
Jadi untuk
menguji validitas dari konstruk laten, peneliti harus menekankan pada
nomological dan atau criterion-related validity. Implikasi lain dari Model
Formatif adalah dengan menghilangkan satu indikator dapat menghilangkan bagian
yang unik dari konstruk laten dan merubah makna dari konstruk.
Fungsi
Partial Least Square
Setelah para pembaca menelaah secara
seksama penjelasan yang lumayan panjang diatas, tentunya bisa jadi malah tambah
pusing. Maka bukan maksud untuk menyepelekan tulisan yang diatas, lupakanlah
atau simpan saja hasil bacaan anda diatas. Secara mudahnya saya coba simpulkan
dari kaca mata orang yang awam ilmu statistik. Yaitu sebagai berikut:
1.
Partial
Least Square adalah analisis yang fungsi utamanya untuk perancangan model,
tetapi juga dapat digunakan untuk konfirmasi teori.
2.
PLS tidak
butuh banyak syarat atau asumsi seperti SEM. Apa itu SEM nanti akan saya
jelaskan lebih lanjut pada artikel lainnya.
3.
Fungsi
Partial Least Square kalau dikelompokkan secara awam ada 2, yaitu inner model
dan outer model. Outer model itu lebih kearah uji validitas dan
reliabilitas. Sedangkan inner model itu lebih kearah regresi yaitu untuk
menilai pengaruh satu variabel terhadap variabel lainnya.
4.
Kecocokan
model pada Partial Least Square tidak seperti SEM yang ada kecocokan global,
seperti RMSEA, AGFI, PGFI, PNFI, CMIN/DF, dll. Dalam PLS hanya ada 2 kriteria
untuk menilai kecocokan model, yaitu kecocokan model bagian luar yang disebut
dengan outer model dan kecocokan bagian dalam yang disebut dengan inner model.
Sehingga maksud poin 3 diatas adalah menjelaskan poin 4 ini. Untuk kecocokan
model bagian luar ada 2 yaitu pengukuran reflektif dan pengukuran formatif,
yang sudah dijelaskan diatas.
5.
Penilaian
kecocokan model bagian luar atau outer model antara lain: Reliabilitas dan
validitas variabel laten reflektif dan validitas variabel laten formatif.
6.
Penilaian
kecocokan model bagian dalam antara lain: Penjelasan varian variabel laten
endogenous, ukuran pengaruh yang dikontribusikan dan relevansi dalam prediksi.
Setelah
membaca semua penjelasan partial least square diatas, tentunya para pembaca
bertanya-tanya: seperti apakah sih bentuk nyata dari penilaian kecocokan model,
yang terdiri dari outer dan inner model tersebut? Untuk itu akan kami bahas
dalam artikel selanjutnya tentang PLS SEM: Pengukuran Kecocokan Model (Inner Model dan
Outer Model).
Demikian
diatas sedikit pengantar atau penjelasan dari analisis Partial Least Square.
Kami akan terus membuat berbagai macam artikel yang berkaitan dengan Partial
Least Square ini sampai ke contoh Partial Least Square dalam pengujiannya
menggunakan software seperti smartPLS.
Statistik menggunakan PLS-SEM (3)
Olah data SEM dengan LISREL, AMOS atau SMART PLS?
Structural Equation Modelling atau lebih dikenal dengan SEM
merupakan suatu metode analisis statistik multivariat. Melakukan olah data SEM
berbeda dengan melakukan olah data regresi atau analisis jalur. Olah data SEM
lebih rumit, karena sem dibangun oleh model pengukuran dan model struktural.
Untuk melakukan olah data sem dengan lebih mudah, tentu kita membutuhkan
bantuan software statistik. Saat ini sudah tersedia berbagai macam softareuntuk
olah data SEM diantaranya adalah Lisrel, AMOS dan Smart PLS. Diantara
software-software statistik tersebut, mana yang cocok untuk digunakan. Berikut
ulasan singkatnya:
Kelebihan Lisrel
Lisrel dikembangkan oleh Karl Jöreskog and Dag Sörbom. Lisrel adalah
software statistik yang digunakan paling meluas dikalangan peneliti maupun
praktisi. Kelebihan dari software lisrel adalah kemampuannya mengidentifikasi
hubungan antara variabel yang kompleks. Cara mengoperasikannya yang terdiri
dari bebagai pilihan, baik dengan syntax maupun dengan program sederhana,
menjadikannya lebih banyak digunakan berbagai kalangan. Syntax tentu akan
disukai bagi pengguna yang memang faham dengan bahasa pemograman. Sementara
Simplis atau simple lisrel merupakan alternatif bagi mereka yang awam dengan
bahasa pemograman.
Pilihan berbagai metode estimasi
sudah tersedia di Lisrel, sehingga tidak terpaku kepada satu metode
estimasi Maximum
Likelihood. Itu tergantung
kondisi data, metode estimasi mana yang akan kita gunakan.
Kekurangan Lisrel
Satu hal kekurangan dari software lisrel ini adalah ketidakmampuannya
mengolah data sem dengan jumlah sampel yang sedikit. Ketika kita memiliki
sampel kurang dari 200, sementara modelnya kompleks, maka terkadang hasil
estimasi tidak sesuai dengan harapan kitan.
Kelebihan Amos
Sama halnya dengan SPSS, AMOS merupakan software statistika yang
dikembangkan oleh IBM. Sofware amos memang dikhususkan untuk membantu menguji
hipotesis hubungan antar variabel. Melalui software ini, kita dapat mengetahui
tingkat kekuatan hubungan antara variabel baik antara variabel laten maupun
dengan variabel manifest. Seberapa signifikan hubungan antara variabel, dan
seberapa fit model hipotesis dibandingkan dengan data riil lapangan.
Kelebihan Amos adalah kita tidak
memerlukan syntax atau bahasa pemograman yang rumit
untuk mengoperasikan software ini. Bagi pemula, atau yang awam
dengan bahasa pemograman tentu ini merupakan keuntungan tersendiri. Melalui
amos, kita cukup menggambarkan variabel laten dan variabel manifest, lalu
menghubungkannya melalui panah-panah yang tersedia.
Kekurangan Amos
Kelebihan amos sekaligus menjadi
kekurangan Amos. membuat gambar yang sangat banyak ketika model sudah kompleks,
tentu menjadi pekerjaan yang sangat membosankan. Padahal, pekerjaan tersebut
dapat dilakukan dengan lebih sederhana melalui bahasa pemograman. Kita
tinggal copy
syntax dan mengganti beberapa
variabel, kemudan running, maka selesailah sekompleks apapun model yang hendak
dibuat.
Kelebihan Smart PLS
Smart PLS atau Smart Partial Least Square adalah software statistik yang
sama tujuannya dengan Lisrel dan AMOS yaitu untuk menguji hubungan antara
variabel, baik sesama variabel latent maupun dengan variabel indikator, atau
manifest.
Penggunaan Smart PLS sangat dianjutkan ketika kita mememiliki keterbatasan
jumlah sampel sementara model yang dibangung kompleks. hal ini tidak dapat
dilakukan ketika kita menggunakan kedua software di atas. mereka membutuhkan
kecukupan sampel.
Kelebihan lainnya dai Smart PLS adalah kemampuannya mengolah data baik
untuk model SEM formatif ataupun reflektif. model SEM formatif memiliki
ciri-ciri diantaranya adalah variabel latent atau konstruk dibangun oleh
variabel indikator dimana panah mengarah dari variabel konstruk ke variabel
indikator. Model SEM reflektif adalah model SEM dimana variabel konstruk
merupakan refleksi dari variabel indikator, sehingga panahnya mengarah dari
variabel indikator ke variabel latent. Secara statistik, konsekuensinya adalah
tidak akan ada nilai error pada variabel indikator.
Kekurangan Smart PLS
Oleh karena software ini dkhususkan untuk melakukan olah data sem dengan sampel kecil,
maka tidak cocok digunakan untuk penelitian dengan sample besar
Statistik menggunakan PLS-SEM (1)
Perbandingan SEM dengan SEM
PLS
Kita akan sedikit review kembali pembahasan kita
terkait SEM dan SEM PLS, yang banyak sekali didapati kebingungan penggunaannya
pada sebagian peneliti atau data master yang masuk melalui beberapa pertanyaan
kepada kita. Bahwa peneliti tidak perlu memaksakan data yang dimiliki untuk
memilih SEM sebagai final tools untuk
menghasilkan model struktural atas data yang dimiliki, sedangkan data tersebut
memiliki banyak kelemahan dalam pemenuhan asumsi model SEM. Tidak sedikit
akhirnya peneliti atau data master melakukan manipulasi data (terutama pada
penelitian sosial-angket) hanya agar diperoleh output model SEM dengan LISREL
(salah satunya). Perlu dipahami bahwa ada alternatif lain bagi peneliti atau
data master dalam menghasilkan model struktural atas data yang dimiliki ketika
asumsi-asumsi model SEM tidak terpenuhi yaitu dengan SEM-PLS, hal ini agar
peneliti atau data master tetap dapat menjaga keaslian hasil dari penelitian
yang dilakukan.
Lebih dalam terkait dengan SEM dan SEM-PLS kita akan uraikan pada bagian
berikut.
Pengertian PLS
Dalam sebuah penelitian sering kali peneliti
dihadapkan pada kondisi di mana ukuran sampel cukup besar, tetapi memiliki
landasan teori yang lemah dalam hubungan di antara variable yang
dihipotesiskan. Namun tidak jarang pula ditemukan hubungan di antara variable
yang sangat kompleks, tetapi ukuran sampel data kecil. Partial Least Square (PLS) adalah salah satu
metode alternative Structural Equation Modeling (SEM)
yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Terdapat dua pendekatan dalam Structural Equation Modeling (SEM), yaitu SEM
berbasis covariance (Covariance Based-SEM,
CB-SEM) dan SEM dengan pendekatan variance (VB-SEM)
dengan teknik Partial Least Squares (PLS-SEM).
PLS-PM kini telah menjadi alat analisis yang popular dengan banyaknya jurnal
internasional atau penelitian ilmiah yang menggunakan metode ini. Partial Least Square disingkat PLS merupakan jenis
analisis SEM yang berbasis komponen dengan sifat konstruk formatif. PLS pertama
kali digunakan untuk mengolah data di bidang economertrics sebagai
alternative teknik SEM dengan dasar teori yang lemah. PLS hanya berfungsi
sebagai alat analisis prediktor, bukan uji model.
Semula PLS lebih banyak digunakan untuk studi
bidang analytical, physical dan clinical chemistry. Disain PLS dimaksudkan untuk
mengatasi keterbatasan analisis regresi dengan teknik OLS (Ordinary Least Square) ketika karakteristik datanya
mengalami masalah, seperti : (1). ukuran data kecil, (2). adanya missing value, (3). bentuk sebaran data tidak normal,
dan (4). adanya gejala multikolinearitas. OLS regression biasanya menghasilkan
data yang tidak stabil apabila jumlah data yang terkumpul (sampel) sedikit,
atau adanya missing values maupun
multikolinearitas antar prediktor karena kondisi seperti ini dapat
meningkatkan standard error dari koefisien
yang diukur (Field, 2000 dalam Mustafa dan Wijaya, 2012:11).
PLS yang pada awalnya diberi nama NIPALS (Non-linear Iterative Partial Least Squares) juga dapat
disebut sebagai teknik prediction-oriented.
Pendekatan PLS secara khusus berguna juga untuk memprediksi variable dependen
dengan melibatkan sejumlah besar variable independen. PLS selain digunakan
untuk keperluan confirmatory factor analysis (CFA),
tetapi dapat juga digunakan untuk exploratory factor analysis (EFA)
ketika dasar teori konstruk atau model masih lemah. Pendekatan PLS
bersifat asymptotic distribution free (ADF), artinya data
yang dianalisis tidak memiliki pola distribusi tertentu, dapat berupa nominal,
kategori, ordinal, interval dan rasio.
Pendekatan PLS lebih cocok digunakan untuk
analisis yang bersifat prediktif dengan dasar teori yang lemah dan data tidak memenuhi
asumsi SEM yang berbasis kovarian. Dengan teknik PLS, diasumsikan bahwa semua
ukuran variance berguna untuk dijelaskan. Karena
pendekatan mengestimasi variable laten diangap kombinasi linear dari indikator,
masalah indereminacy dapat dihindarkan dan memberikan
definisi yang pasti dari komponen skor. Teknik PLS menggunakan iterasi
algoritma yang terdiri dari serial PLS yang dianggap sebagai model alternative
dari Covariance Based SEM (CB-SEM). Pada CB-SEM metode
yang dipakai adalah Maximum Likelihood (ML)
berorientasi pada teori dan menekankan transisi dari analisis exploratory ke confirmatory. PLS
dimaksudkan untuk causal-predictive analysis dalam
kondisi kompleksitas tinggi dan didukung teori yang lemah.
Seperti penjelasan di muka, metode PLS juga disebut
teknik prediction-oriented. Pendekatan PLS secara khusus
berguna untuk meprediksi variable dependen dengan melibatkan banyak variable
independen. CB-SEM hanya mampu memprediksi model dengan kompleksitas rendah
sampai menengah dengan sedikit indikator.
VB-SEM (PLS-SEM ) vs. CB-SEM (AMOS dan LISREL)
Analisis SEM secara umum dapat dibedakan
menjadi Variance Based SEM (VB SEM) dan Covariace Based SEM (CBSEM). Pendekatan PLS-SEM
didasarkan pada pergeseran analisis dari pengukuran estimasi parameter model
menjadi pengukuran prediksi model yang relevan. PLS-SEM menggunakan algoritma
iteratif yang terdiri atas beberapa analisis dengan metode kuadrat terkecil
biasa (Ordinary Least Squares). Oleh karena itu, dalam PLS-SEM
persoalan identifikasi tidak penting. PLS-SEM justru mampu menangani masalah
yang biasanya muncul dalam analisis SEM berbasis kovarian. Pertama, solusi model yang tidak dapat diterima (inadmissible solution) seperti munculnya nilai standardized loading factor > 1 atau varian bernilai
0 atau negatif. Kedua, faktor indeterminacy yaitu faktor yang tidak dapat
ditentukan seperti nilai amatan untuk variable laten tidak dapat diproses.
Karena PLS memiliki karakteristik algoritma interatif yang khas, maka PLS dapat
diterapkan dalam model pengukuran reflektif maupun formatif. Sedangkan analisis
CB-SEM hanya menganalisis model pengukuran reflektif (Yamin dan Kurniawan,
2011:15).
Dengan demikian, PLS-SEM dapat dikatakan sebagai komplementari atau
pelengkap CB SEM (AMOS dan LISREL) bukannya sebagai pesaing. Terdapat 10
kriteria perbandingan sederhana antara penggunaan VBSEM (PLS–SEM) dengan CBSEM
(AMOS dan LISREL) dapat dilihat pada Table 1.1.
Dengan berbekal informasi di atas, diharapakan dapat memperjelas bagi
peneliti atau data master dalam menerapkan data pada model struktural yang
hendak di bentuknya, SEM atau SEM-PLS. Diharapkan juga bahwa peneliti atau data
master tidak memaksakan model SEM pada data sedangkan pemenuhan asumsi pada
pemodelan SEM sangat lah kurang (banyak kasus dengan memanipulasi data –
terutama pada penelitian sosial). Dari informasi di atas jelaslah bahwa dengan
penggunaan SEM-PLS sangat tepat untuk peneliti atau data master yang memiliki
data yang memiliki banyak kekurangan dalam pemenuhan asumsi model SEM. Hal ini guna
memperoleh hasil maksimal dari pemodelan SEM yang dilakukan dan secara prinsip
SEM-PLS merupakan alat yang sama dalam pencarian jawaban atas pemodelan
struktural suatu teori atas data yang dimiliki. SEMANGAT MEMAHAMI!!!
Sumber : Petunjuk Praktikum Smart-PLS