Minggu, 23 Juni 2019

Pendidikan Nasional Perlu Perubahan Fokus


Pendidikan Nasional Perlu Perubahan Fokus.


            Sudah begitu banyak pernyataan dan keluhan tentang rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia, yang tentu saja terkait dengan mutu lulusan yang dihasilkan oleh sistem pendidikan. Selain itu, teutama akhir-akhir ini, banyak pula keluhan masyarakat akan semakin mahalnya biaya yang harus dikeluarkan untuk pendidikan anak-anak mereka. Padahal, anggaran negara yang di alokasikan untuk pendidikan itu selalu bertambah dari tahun ke tahun, baik dari segi jumlah maupun proporsinya pada APBN.
            Sungguh ironis bahwa anggaran selalu naik tetapi kualitas lulusannya tetap rendah dan justru di rasakan semakin mahal. Mengapa hal seperti ini terjadi ? padahal kurikulum dan buku, entah sudah berapa kali diubah. Entah sudah berapa macam metode mengajar yang di tatarkan kepada guru. Bahkan, penataran guru sepertinya tak henti-hentinya di lakukan. Akankah keadaan ini dibiarkan terus berlanjut ? Jika tak menghasilkan lulusan yang berkualitas dan dapat di andalkan, dapatkah pendidikan itu di sebut sebuah investasi untuk masa depan ? masih banyak pertanyaan lagi.
            Sebenarnya, tidaklah terlalu sulit untuk menemukan penyabab, mengapa hal-hal di atas  terjadi. Hanya dengan akal sehat / common sense saja yang akan dengan mudah menemukan bahwa selama tiga tahun terakhir pendidikan di Indonesia tidak mementingkan hasil / kualitas lulusannya. Nyaris tak ada murid yang pernah mengalami tidak lulus / tidak naik kelas, betapa pun bodohnya dia, sejak dari SD sampai tamat SMA. Pusat perhatian (fokus) dari setiap kebijakan umumnya hanya tertuju kepada urusan kurikulum. Semua sarana dan prasarana yang di adakan / di bangun  hanya di pandang sebagai instrumen pelaksanaan kurikulum. Yang cenderung di lupakan ialah bahwa kurikulum itu sendiri sebenarnya adalah instrumen untuk mengahasilkan lulusan yang berkualitas.
            Akibatnya, para pembuat kebijakan telah merasa berhasil dan para guru telah merasa aman jika seluruh prosedur  kurikulum telah terlaksana, meskipun lulusannya tidak memiliki pengetahuan dan kemahiran yang di tuntut oleh kurikulum itu sendiri. Guru akan jauh lebih khawatir jika ketahuan tak mengikuti prosedur CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) yang telah di tatarkan kepadanya daripada ketahuan bahwa para muridnya tetap bodoh. Kenyataan bahwa hampir seratus persen lulusan SMA tak menguasai bahasa Inggris dengan agak pantas walaupun telah belajar bahasa Inggris enam tahun tak henti-hentinya, empat jam per minggu, tidaklah membuat guru dan pembuat kebijakan bersedih.
            Masyarakat pun tak pernah ada yang protes, ketika melihat bahwa murid yang sama ternyata bisa berbahasa Inggris hanya dengan ikut kursus enam bulan saja, juga tak membuat ada yang merasa bersalah.
            Suatu sistem pendidikan yang terlalu fokus kepada kurikulum biasanya tidak pernah memuaskan masyarakat, karena apa pun yang di keluhkan tentang pendidikan cenderung di tuduhkan kepada kurikulum sebagai penyebabnya. Kadang kurikulum di katakan terlalu sempit, ramping dan ringan, namun di saat lain ia dikatakan terlalu luas, gemuk dan berat. Setiap ada masalah yang timbul, pasti di katakan karena belum masuk dalam kurikulum atau karena masih kurang banyak.
            Pada sistem seperti ini, sungguh berat beban dan tekanan bagi mereka yang di beri tanggung jawab menyusun kurikulum. Berbagai macam perubahan teori dan filosofi juga biasanya di ajukan sebagai jawaban bagi setiap masalah yang terkait dengan pendidikan. Akibatnya kurikulum itu sendiri lalu sering di modifikasi, bahkan di ubah-ubah. Bahkan sering ada pameo bahwa setiap kali ganti menteri tentu ganti kurikulum.
            Lebih membingungkan lagi, setiap terjadi perubahan pendekatan / teori / filosofi, tentu akan disertai pula dengan berbagai jargon dan istilah-istilah baru. Dulu CBSA, kemudian link and match dan sebagainya, dan kini ada Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Berikutnya entah berbasis apa lagi, tetapi ujungnya selalu saja berupa penataran guru, ganti buku, ganti acara membuat persiapan mengajar, ganti acara tampil di kelas, ganti cara ulangan dan sebagainya.
            Bahkan sering terjadi, kurikulum telah dimodifikasi lagi ketika yang lama belum smapai di sekolah. Celakanya setiap perubahan kurikulum menimbulkan ongkos  yang mahal sekali karena akan memerlukan proyek-proyek baru untuk penyesuaian buku, cara mengajar, alat belajar-mengajar dan sebagainya.
            Sungguh di sayangkan bahwa triliunan rupiah yang  seyogianya dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas dan kesejahteraan guru serta untuk  prasarana sekolah, terpaksa di habiskan  untuk melatih guru tentang cara mengajar baru, menyesuaikan dan mencetak ulang buku, atau membayar banyak konsultan asing untuk prosedur mengajar. Andaikan biaya tersebut digunakan untuk prasarana sekolah dan untuk peningkatan penguasaan guru  atas materi yang di ajarkannya, tentulah hasil yang di perolehnya (kualitas lulusannya) akan meningkat, apapun metode mengajar yang di pilih mereka. Di saat  sebagian besar guru justru belum menguasai materi pelajaran, tentulah penataran tentang metode baru dalam mengajar tak akan banyak mengubah keadaan mutu lulusan.
            Lalu apa yang perlu di lakukan untuk mengatasi persoalan di atas ? jawabannya ialah memindahkan fokus perhatian dan kebijaksanaan dari urusan kurikulum kepada masalah kualitas lulusan. Misalnya pertanyaan yang di bahas seyogianya tentang mengapa terjadi kesenjangan yang amat besar dalam hal kualitas lulusan, baik antar daerah maupun antar sekolah umum dan madrasah. Padahal mereka menggunakan kurikulum yang sama, dengan gaji guru (pegawai negeri) yang sama, sarana yang di distribusikan sama, penataran guru (metodenya) sama saja.
            Mengapa lulusan madrasah dan lulusan daerah tertentu nyaris tak ada yang bisa masuk ITB, UI dan UGM, jika harus melalui tes masuk ? Mengapa ketika ada perusahaan besar berinventasi di daerah dan melakukan seleksi untuk mendapatkan karyawan, nyaris tak ada lulusan  setempat yang diterima karena kualifikasinya rendah ? Bukankah hal ini membahayakan persatuan nasional ? mengapa lulusan daerah tersebut berbeda kualitasnya meskipun nilai ujian yang di berikan sama dan dari ujian yang ikatannya nasional ? Mengapa  lulusan sekolah Indonesia tak mendapatkan pengakuan yang semestinya ketika harus bersaing   dengan lulusan sekolah dari negara-negara tetangga ? Padahal kita telah para guru jauh lebih intensif ?.
            Daripada memaksakan gaya mengajar tertentu secara nasional,  mengapa tidak memaksakan saja suatu standar kelulusan minimal secara nasional ? mengapa tidak melihat cara lain yang  yang terbukti mengalami kemajuan amat pesat dalam meningkatkan kualitas lulusan selama 20 tahun terakhir,  misalnya Malaysia, yang meskipun berbentuk negara federal (bukan sekedar otonomi) tetapi mengapa justru memiliki sampai dua lembaga otorita pengujian, yaitu Malaysian Examination Syndicate dan Malaysia Examination Council ? Keduanya melakukan standardisasi kualitas lulusan secara nasional bahkan dengan standar yang memadai untuk diberlakukan secara nasional, baik dalam hal pengetahuan maupun dalam kehadiran yang lulus.
            Adapun kurikulum nasional cukup berfungsi sebagai rambu-rambu umum tentang luas cakupan dan tingkatan minimum pada suatu materi pelajaran. Jadi tak perlu mengatur sampai kepada urutan topik per bulan / minggu dan sebagainya, apalagi sampai kepada memaksakan suatu metode / teori mengajar tertentu. Guru akan memiliki kebebasan dan otoritas yang lebih besar namun harus bekerja lebih keras karena muridnya harus mencapai standar lulusan. Sementara murid, tentu saja harus belajar lebih serius kalau ingin lulus. Berbagai kebijakan dan aturan yang di buat tentu akan lebih banyak berkenan dengan persyaratan kelulusan, prosedur pengujian, pemberian ijazah sertifikat dan sebagainya, daripada hal-hal seperti cara mengajar dan struktur isi buku, yang pada hakikatnya membelenggu guru.
            Dalam kaitan ini, alokasi anggaran pendidikan sudah semestinya lebih di dominasi oleh :
1.         Upaya membantu guru agar lebih sukses dalam menghasilkan lulusan berkualitas (termasuk kesejahteraannya).
2.         Mendorong murid agar lebih giat belajar serta tak terhalang oleh kendala ekonomi jika ia menunjukkan prestasi baik, artinya hampir semua biaya di luar pembangunan prasaran dan sarana haruslah di alokasikan dalam bentuk layanan secara langsung kepada guru dan murid. Ia dapat berupa beasiswa, bantuan pembebasan biaya jika anak guru kuliah, pinjaman khusus profesi.
            Ringkasnya birokrasi pendidikan dituntut untuk lebih dominan fungsi pelayanannya daripada fungsi pengendalian. Adapun yang harus dilayani adalah guru dan murid, bukan sistemnya. Karena merekalah pelaku utama dibidang pendidikan. Sementara yang lain pada hakikatnya adalah pemeran pembantu yang memiliki misi sama yaitu membantu guru agar sukses mengajar dan membantu murid agar sukses belajar.
            Suatu sistem pendidikan yang terfokus pada upaya mendapatkan lulusan berkualitas juga dengan sendirinya akan mendorong tumbuhnya berbagai karakter pribadi yang positif. Sebutlah seperti disiplin, jujur dan lebih mengandalkan kemampuan sendiri, pola pikir yang lebih rasional dan ilmiah, terbiasa bekerja, tahan mental dalam menghadapi kesulitan.
            Adanya standar nasional kelulusan yang dilaksanakan oleh sebuah lembaga penguji yang profesional dan memilikii otoritas akan menghilangkan kesenjangan kualitas lulusan antar daerah. Indikator kemajuan di bidang pendidikan tidak lagi diukur dengan statistik angka partisipasi murid belaka, tetapi lebih pada tingkat literasi nasional, seperti angka buta huruf, penguasaan, baca tulis hitung pada murid kelas tiga dan enam SD, proporsi lulusan SMP dengan nilai cemerlang.
            Orangpun akan cenderung memantau berapa anak yang menjadi lebih pintar telah mencapai tingkatan apa, jika di bandingkan dengan tahun sebelumnya maupun negara lain. Perdebatan publik tentang teori, filosofi kurikulum dengan berbagai jargon yang menyertainya, gaya mengajar juga dengan sendirinya akan berkurang.
Yang pasti, masyarakat tidak terkecoh dengan menilai kualitas sekolah dari kemegahan gedung dan fasilitas tambahan yang dimiliki, melainkan dari proporsi kelulusannya yang berkualifikasi cemerlang.
Jangan Buyarkan Sistem Pendidikan di Indonesia


Ganti menteri ganti kebijakan, itulah ungkapan yang mencerminkan betapa kebijakan pemerintah di setiap sektor sangat bergantung pada selera sosok menteri terkait. Alhasil sering kali terjadi tambal sulam kebijakan antara menteri sebelumnya dan menteri yang sedang berkuasa. Pada tataran konsep terjadi daur ulang tetapi substansinya justru tidak terukur.
Selama lebih  kurang tiga tahun menjabat Menteri Pendidikan Nasional Abdul Malik Fadjar berupaya menempatkan pendidikan dalam kerangka human investment (investasi untuk pembangunan sumber daya manusia). Ia menyadari bahwa kerang atersebut tak mudah dijabarkan dan langsung kelihatan hasilnya. Alasannya ketika mulai menduduki jabatan tersebut, Juli 2001, bangsa Indonesia berhadapan dengan tantangan globalisasi di mana kualitas sumber daya manusia merupakan keniscayaan. Namun pada sisi lain belum semua komponen bangsa siap menyambut dan melakoni perubahan tersebut.
Program nasional yang sudah berjalan beberapa tahun sebelumnya, yakni Wajib Belajar 9 tahun. Program ini sangat strategis karna menyangkut pendidikan dasdar. Dari sinilah bermula penanaman nilai-nilai akademis dan sangat menentukan keberhasilan tahap-tahap pendidikan selanjutnya. Apalagi konstitusi mengamanatkan agar negara memberikan layanan pendidikan kepada semua warganya. Layanan pendidikan yang mendasar bermula dari pendidikan dasar sembilan tahun.
Selama ini Depdiknas berusaha merespons globalisasi dan otonomi serta demokratisasi. Untuk itu, berlandaskan pendidikan berbasis masyarakat luas karena 75% masyarakat tidak melanjutkan ke pendidikan tinggi, tetapi mereka butuh lapangan kerja. Agar bisa merangkum basis besar, orientasi pendidikan ditambah life skills atau kecakapan hidup. Pendekatannya bisa formal maupun nonformal. Sebetulnya pranata itu sudah ada di masyarakat, tinggal bagaimana agar institusi pendidikan yang ada di masyarakat lebih di dinamiskan dengan kekuatan ekonomi berupa budget block grant dan alokasi per daerah.
Seiring dengan era otonomi pemerintah pusat memandang hubungan pusat dan daerah tidak dalam kerangka hierarkis tetapi konsultatif. Dengan tujuan memberdayakan daerah, pemerintah pusat menyalurkan bantuan dalam model block grant, dana alokasi umum (DAU), dan dana alokasi khusus (DAK). Itu semua dalam kerangka memberdayakan mulai dari tingkat SD sampai SMA yang diserahkan kepada kabupaten/kota dan provinsi.
Penetapan konsep itu disambut dengan beragam, terlebih dalam era reformasi dan demokratisasi. Pada kondisi obyektif tuntutan masyarakat sangat tinggi. Masyarakat sudah pintar bicara, LSM makin menunjukkan peranannya. Sebetulnya itu fenomena menggembirakan. Cuma yang perlu diantisipasi, jangan sampai semua itu kehilangan orientasi utama dalam pendidikan, yakni human invesment. Investasi pendidikan tidak bisa instan.
Kesenjangan itu timbul dalam kerangka normatif dan kerangka ekspektasi atau harapan. Pendidikan yang diproses dengan kerangka normatif dan imperatif itu hasilnya tidak selalu berjalan dengan realitas yang dihadapi. Banyak orang mengumpat konsep pendidikan mengarah pada pembodohan dan macam-macam. Media massa pun ikut memberikan sorotan. Yang banyak disoroti antara lain kurikulum dan buku. Sebetulnya itu semua dampak negati dari penyikapan dan keputusan masing-masing yang kurang tepat.
Kurikulumitu sendiri tidak ada yang permanen, dan dijalankan dengan memudahkan, jadi semacam menu agar mudah dicerna. Contoh, sekarang sudah zaman teknologi informasi, yang di kota sudah bisa, tetapi yang di daerah ? Mulai dari Aceh sampai Papua beragam betul. Ini perlu dipetakan dan secara jeli dicermati. Pendidikan tidak lagi seragam . Dulu semua SD Inpres di komando dari atas, sekarang tidak bisa lagi. Kebijakan ini yang harus dietapkan secara luwes dan luas.
Idealnya, wajib belajar di tanggung pemerintah. Kalau negara kita kecil dengan jumlah pendidikan, kecil mungkin bisa saja di gratiskan saja. Indonesia pun pernah melakukan itu ketika zaman awal perang kemerdekaan dan sesudah merdeka tahun 1945. Sekarang, itu tentu mustahil, yang perlu digalakkan adalah menggerakan semua sumber pendanaan untuk membiayai pendidikan sehingga tercipta mekanisme subsidi silang yang adil.
Lima tahun ke depan, tantangan yang paling berat adalah memenuhi tuntutan masyarakat akan pendidikan murah serta bermutu. Itu wajar namun sekali lagi, ini hanya bisa dipenuhi kalau terjadi sinergi positif antara masyarakat, orang tua dan pemerintah. Kalau dibebankan kepada pemerintah saja, apalagi dengan kondisi sekarang, tentu hal ini sangat sulit.
Beberapa usulan sudah dimasukkan, seperti pajak pendidikan dan kompensasi pajak. Tetapi sekali lagi, itu semua masih belum bisa karena memerlukan kebijakan nasional yang harus ada landasan hukum, yang sampai hari ini belum ada. Seperti soal yayasan sampai sekarang masih diperdebatkan, itu sebetulnya tidak perlu dikhawatirkan, yang perlu dicegah adalah penyimpangan, penipuan terhadap dunia pendidikan. Sekali kita berlaku curang terhadap dunia pendidikan berarti sekali kita mencurangi bangsa ini secara berkesinambungan.
Status perguruan tinggi negari sebagai badan hukum milik negara (BHMN) terus di galakkan, terutama  pada sejumlah PTN. Masalahnya hingga sejauh ini sistem anggaran negara tidak mengenal istilah BHMN sehingga sejumlah PTN yang telah berstatus BHMN agak kerepotan.
Sebetulnya itu tak perlu terjadi kalau semua pihak berpikir secara komprehensif. Peraturan pemerintahpun sebetulnya kuat. Bukankah peraturan itu juga dibuat dengan melibatkan instansi terkait ? Tetapi, mungkin  itu bisa dibenahi nanti setelah ada UU BH Perguruan, seperti diamanatkan UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Seharusnya setiap PTN mempunyai riset dan program studi yang paling menonjol. ITB, misalnya mungkin bisa menonjol pada teknologi industri. Kemudian UI pada bidang kedokteran atau ekonomi. UGM mungkin di bidang hukum. Itu perlu pembenaharan, Guru besar seharusnya di daftar sesuai dengan kepakaran dan asal universitasnya sehingga kalau ada orang mau berguru tinggal melihat referensi saja.
Pasca sarjana harus melekat pada fakultas, bukan lagi program studi. Dengan demikian strata pendidikan di PTN/PTS hanya terbagi atas indergraduante, postgraduante dan doktoral. Itu cukup diserahkan pada fakultas masing-masing.
Kendala yang ada pada saat ini adalah harus memenuhi tuntutan yang berlapis dan beragam. Secara geografis bentangan Indonesia sangat luas. Secara sosial, ekonomi dan budaya juga ada kesejangan yang lebar. Menjembatani itu bukan mudah, pada posisi lain juga belum semua siap mengubah paradigma sentralisasi ke otonomi. Ada daerah yang semuanya masih bergantung pada pusat. Ini semua masih memerlukan proses.
Wajib belajar sembilan tahun  agar benar-benar tuntas paling lambat tahun 2009. Tidak hanya dari segi kuantitatif, tetapi juga kualitatif. Setiap kenaikan kualitatif perlu penunjang sarana dan prasana berkualitas juga terutama guru yang menjadi kunci utama. Siapapun yang menjadii menteri tidak perlu khawatir karena masyarakat sendiri sudah terlibat langsung memainkan peranannya dalam dunia pendidikan. Sistem yang telah ada harus jalan jangan sampai buyar.
Kita telah menaikan gaji guru dan tunjangan fungsional mereka 100-150%, tetapi tidak smua pihak berguru Rp.50.000,- saja per orang per bulan butuh tambahan anggaran negara Rp.1,9 trilyun per tahun. Masalah kualifikasi dan kesejahteraan guru memang perlu perhatian khusus pada masing-masa mendatang.
Pada pelaksanaan UAN (Ujian Akhir Nasional) pertama tanpa sorotan, ketika nilai standar kelulusan dinaikkan dari 3,01 menjadi 4,01 muncullah kritik bahwa itu tidak realistik. Padahal demi mutu, standar kelulusan mestinya memang naik. Kemudian timbul kritikan bahwa pemerintah melakukan pembodohan dan bertentangan  dengan UU. Sebetulnya kalau semua pihak bisa dipercaya, pemerintah tak perlu ikut campur terlalu jauh.
Masalahnya, kasus manipulasi angka dan ijazah palsu masih dipercaya, pemerintah tak akan ikut campur terlalu jauh. Masalah kasus manipulasi angka dan ijazah palsu masih saja terjadi. Berdasarkan UU Sisdiknas, nantinya ada semacam lembaga independen yang mangatur standar ujian.



0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda